Oleh: Nurun Nisa’
Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta menunjukkan bahwa 61,4% penduduk Muslim yang bermukim di 16 propinsi di seluruh Indonesia menyetujui syari'at Islam (SI). Riset yang dilakukan pada November 2001 ini kemudian menambahkan soal keterbelahan sikap para responden. Mereka, yang notabene santri, ternyata tidak sepaham dalam soal implementasi SI. 'Syari'at yes, potong tangan nanti dulu', kiranya merupakan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan realitas ini; ada perbedaan tajam antara pemahaman dan pelaksanaan SI (Tempo, 2001).
Realitas ini amat menarik jika dikaitkan dengan regulasi otonomi daerah seperti termaktub dalam UU No.22 Tahun 1999. Peraturan yang menjamin daerah berhak mengatur dirinya sendiri ini telah membuka banyak peluang. Di antaranya adalah soal pilihan orientasi dalam pembuatan peraturan daerah. Termasuk juga kecenderungan (formalisasi) syari'at Islam.
Gejala di atas dapat dilihat dari meruyaknya aturan daerah bernuansa syari'ah Islam. Sebut saja perda syaria'ah Islam (perda SI). Penggagasnya rata-rata Bupati dengan dukungan badan SI. Di Garut, badan tersebut bernama LP3SI (Lembaga Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan SI). Sulsel dengan KPPSI (Komite Persiapan Penegakan SI), Banten (KPPSIB; Komite Persiapan Penegakan SI Banten), Cianjur (LPPI, Lembaga Pengembangan dan Pengkajian Islam), Tasikmalaya (FBPI, Forum Bersama Pemuda Islam), Sukabumi (BPPSI, Badan Pengkajian dan Pengembangan SI). Tak kalah, Kebumen mempunyai FTJ (Front Thariqatul Jihad), Yogyakarta memiliki GPSI (Gerakan Penegak SI)-nya (Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, 2004).
Dan memang, bupati dan badan SI-lah yang selama ini menjadi aktor di balik Perda syariah di berbagai daerah. Peraturan di Bulukumba tentang pandai baca tulis Al-Qur'an bagi siswa dan calon pengantin No. 06 Tahun 2003 misalnya dirumuskan oleh Bupati Patoboi Pabokori dan Ketua KPPSI, Aziz Kahar Muzakkar. Atau Perda No. 18/2001 soal pelarangan minuman keras di Pamekasan oleh Bupati Dwiatmo Hadiyanto. Juga Bupati Wasidi Swastomo dengan konsep Gerbang Marhamah (Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlaqul Karimah) di Cianjur—dan lantas ditindaklanjuti dengan pembentukan LPPI (Lihat tabel). Kesemua daerah memperlihatkan ciri-ciri yang hampir seragam.
Betapapun, tidak mampu disangkal adanya kenyataan bahwa masyarakat didera kepanikan yang luar biasa ketika Orde Baru tumbang. Rezim yang begitu hegemonik ini meninggalkan rakyat dalam beliung keterpurukan. Dan, publik akhirnya limbung. Mereka seolah kehilangan pegangan karena seluruh hidupnya selama ini telah diatur dan ditundukkan oleh berbagi policy yang dibuat pada masa rezim Soeharto.
Akhirnya, ketika rezim itu runtuh, sebagian dari mereka mulai mencari authentisitas diri. Ambisi ini dimulai dengan 'pencarian' asal-mula daerah yang berujung pada romantisme Negara Islam Indonesia (NII) seperti di Garut (RAHIMA, 2004) atau kerajaan Islam tempo doeloe pada kasus Bulukumba (LAPAR, 2004). Kemudian dilanjutkan dengan problem otentisitas budaya—bahwa kita dikungkung oleh budaya Barat. Hukum dan ekonomi, sebagai contoh, yang membuat Indonesia terjerembab dalam krisis multidimensi adalah hasil adopsi peradaban Barat. Untuk itu, kita perlu kembali ke asal; kita perlu kembali ke 'khittah' awal yang original, yang asli. Dengan kata lain, hukum Islam, ekonomi Islam, dan seterusnya merupakan solusi paling ampuh.
Yang lain, merasa resah karena banyak terjadi degradasi moral yang sudah sampai pada taraf mengkhawatirkan. Banyaknya perempuan yang berpakaian mini dan tidak berjilbab ditambah pornografi dan pornoaksi yang kian marak, misalnya, membuat jengah sebagian kalangan. Aturan berjilbab dan kewajiban memakai busana muslim(ah) yang ketat tak ayal menunjukkan opini ini. Dan, terlihatlah sebuah upaya 'mendisiplinkan' perempuan—perempuan kadung dianggap sebagai parameter baik buruknya moralitas masyarakat—demi memperbaiki keadaan.
Berbagai alasan kuat ini lantas berjalin berkelindan dengan ambisi-ambisi kelompok kepentingan. Di Cianjur, Bupati menjadikan perda SI sebagai program utama, main program. Tentu ini terkait dengan interest politik; apalagi jika disambungkan dengan event pilkadal (pemilihan kepala daerah langsung) yang kian mendekat. Bupati Bulukumba dan Sukabumi nampaknya melakukan upaya yang terakhir ini. Dengan demikian, bukan tidak mungkin, terjadi politisasi agama—syari'ah dibungkus sedemikian rupa sehingga berbentuk komoditas politik yang bernilai jual tinggi.
Di samping kepentingan politis, dalam penerapan perda SI, ditengarai terdapat pula kepentingan bisnis. Meski menumpang, kepentingan kaum pemodal ini menangguk untung besar. Di Tasikmalaya, industri bordir maju pasca lahirnya regulasi SI terutama berkaitan dengan suplai jilbab sehubungan isu jilbabisasi. Pun di Cianjur, seperti dilansir AD. Kusumaningtyas (aktivis RAHIMA), di mana terdapat penyelenggaraan busana muslim keluaran Shafira sehabis pertemuan ibu-ibu PKK. Juga Bandung, hanya peragaan rancangan baju muslimah saja yang diizinkan. Soal perda miras yang inkonsisten ternyata menimbulkan problem baru; kesenjangan antara pedagang besar dengan pedagang kecil. Pembolehan penjualan miras hanya di tempat pariwisata (Bira) menguntungkan pihak tertentu (LAPAR, op.cit.). Pengusaha besar tidak dirugikan karena dagangannya tetap dapat dijual asalkan memperoleh mengantongi izin resmi.
Sementara itu, sebagian kalangan mengklaim bahwa perda SI murni niatan untuk menjalankan perintah Tuhan. Karena berstatus Muslim, maka, mereka mesti melaksanakan SI. Perda miras (Pamekasan), perda zakat profesi (Lombok Timur), qanun khalwat (Aceh), dan kewajiban memakai jilbab (Cianjur) serta larangan keluar malam bagi perempuan (Padang) dianggap mewakili semangat ini.
Namun, fenomena yang terjadi belakangan memperlihatkan spirit 'yang lain'. Kebutuhan melaksanakan SI bukan lagi soal kepentingan komunal. Tepatnya, aspirasi kaum muslimin lokal. Dalam perjalanan, perda SI ternyata lahir tanpa komunikasi dengan kalangan akar rumput. Pola yang dianut bukan bottom-up, melainkan bergaya elitis; top-down. Draft perda sudah jadi; masyarakat tinggal menyetujui. Mereka tidak diberi ruang sama sekali untuk sekedar beradu argumentasi, apalagi mengkritisi. Bupati dan unsur-unsur pendukungnya menguasai wilayah ini.
Di sinilah, menurut Uli Parulian, Direktur LBH Jakarta, terdapat representasi semu. Representasi penuh (dalam proses pembuatan, pelaksanaan, dan pengawasan peraturan perundang-undangan) seperti dikehendaki oleh undang-undang tata cara pembuatan peraturan, tidak dilaksanakan. Perda SI malah diaku mewakili masyarakat—karena unsur-unsur struktural ormas tertentu memang diundang—padahal, yang paling berhak disebut representasi adalah masyarakat secara kultural. Di sinilah, terjadi sebuah reduksi dari demokrasi partisipatif yang sesungguhnya ideal menjadi—mengutip Robert A. Dahl—sekedar demokrasi prosedural (Robert A. Dahl, 2001). Perda SI sudah illegitimate secara sosial.
Jika ditarik dalam soal tata tertib perundang-undangan, lanjut Uli, perda SI sudah menyalahi hierarki. Kaidah lex superiore derogat lex inferiore (peraturan perundangan-undangan yang tingkatannya di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkatannya lebih tinggi) sudah dilangkahi. Dengan demikian, perda SI, cacat untuk kedua kali; cacat dari sisi hukum. Namun, masyarakat tetap bungkam.
Keadaan ini (baca: masyarakat yang bungkam) patut dipertanyakan. Apalagi jika dilengkapi data-data berikut; Alifah (nama samaran) digunduli kepalanya oleh Forum Bersama Pemuda Islam (FBPI) sebab tertangkap basah pulang malam tanpa didampingi muhrim. Padahal, ia melakukannya karena darurat; ia tidak mendapatkan kendaraan sampai malam menjelang. Forum pendukung SI Tasikmalaya ini tidak (mau) tahu bahwa sang gadis sudah berinisiatif berangkat sejak pagi buta (Taufik Adnan Amal, op.cit). Idham, mantan aktivis mahasiswa yang juga lulusan PTAIN ternama, mengalami nasib serupa. Ia 'dikerjai' aparat kabupaten Bulukumba ketika akan bertemu dengan Bupati. Al-Qur'an harus dibaca terlebih dahulu sebagai tiket masuk dalam protokol birokrasi di salah satu daerah Sulsel ini. Bahkan, di Lombok Timur, soal pungutan zakat profesi telah menyengsarakan para 'Oemar Bakri'. Gaji yang sudah kecil dipotong sebanyak 2,5% tanpa diperkuat dengan transparansi (Syir'ah, 2006). Walhasil, perda SI telah memakan korban.
Tekanan politik yang keras dan kontinyu, setidaknya, menjadi alasan utama mengapa perda SI tetap (di)berlangsung(kan). Suara protes hanya lamat-lamat terdengar ditelan gemuruh penyeragaman kepatuhan. Nampaknya, silent majority saja yang tetap eksis—meski tidak memiliki imbas signifikan. Begitu efektif dan manjurnya kebijakan ini, antara lain karena didukung oleh mekanisme pemaksaan model baru. Pemaksaan pemahaman keagamaan, menyitir Ahmad Suaedy, telah menggeser pemaksaan militer ala Orde Baru. Benar, kombinasi antara pemuka agama dan penguasa telah mengefektifkan kerja-kerja hegemoni ini. Memasuk-paksakan program-program SI sebagai program unggulan, tandas direktur The Wahid Institute ini, menjadi penanda akurat yang dominan.
Kalau sudah seperti ini, perda SI nampaknya tidak bisa ditabalkan sebagai aspirasi melainkan komoditi. Masihkah kita berekspektasi? Wallahu A’lam.